Postingan

Kurang Efektifnya Kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh untuk Indonesia

    Sejak dimulainya pandemi Covid-19, istilah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak lagi terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Sejak saat itu pula, PJJ telah menimbulkan polemik yang kian hari kian panas. Polemik tersebut kini berhasil menimbulkan pertanyaan: seberapa efektif PJJ untuk diterapkan di Indonesia?      Banyak masyarakat yang menyangsikan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau via daring. Untuk itu, Komisi Nasional Pendidikan Jawa Timur (Komnasdik) Provinsi Jatim mengadakan jajak pendapat.      Jumlah responden 7.233 orang dari 38 Kota di Jawa Timur dengan 5 Kota dengan responden terbanyak yakni ; Kabupaten Bojonegoro, Nganjuk, Jombang, Tuban dan Kota Surabaya. Jajak pendapat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berdasarkan profesi responden : 69,63 % siswa, 16,27% guru, 9,24% orang tua siswa, 2,52% Kepala Sekolah, 1,13% mahasiswa, 0,50% dosen, 0,72% tenaga kependidikan.    Adapun hasil jajak pendapat PJJ adalah, dari 1.447 responden tanpa orang tua, lebih dari 50%

Zonasi dalam Perspektif Pendidikan

    Sejak pertama kali dicetuskan pada tahun 2017, sistem zonasi telah menuai banyak pro dan kontra. Baik dari orang tua calon peserta didik baru, pakar pendidikan, hingga beberapa pihak sekolahpun ikut meramaikan protes mengenai kebijakan ini. Banyak orang tua menganggap bahwa sistem ini tidak adil dan merugikan calon peserta didik baru. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menilai bahwa sistem ini efektif untuk pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.    Lantas, apa itu sistem zonasi? Sistem zonasi adalah sistem penerimaan peserta didik baru berdasarkan zona tempat tinggal. Sistem ini memang terlihat adil dan objektif, tetapi bagaimana dengan perspektif pendidikan? Apakah sistem ini memang menguntungkan untuk berbagai pihak atau justru merugikan kalangan pelajar?   Menghapus Perspektif Favoritisme di Kalangan Masyarakat   Dalam sebuah wawancara, Ahmad Suaedy, Anggota Pimpinan Ombudsman RI, menyebut sistem zonasi sebagai sistem yang tepat untuk menghapus perspektif

KELUARGA

Kania memandangi Ibunya yang tengah berbaring lemah di atas ranjang kecil berwarna putih. Gadis berusia delapan belas tahun itu menyandarkan tubuhnya di tembok sambil menangis. Sementara itu, Ayahnya, yang juga sedang berada dalam ruangan yang sama, hanya diam membisu.  “Ibu udah tahu?” tanya Kania dengan suara seraknya. Mata merahnya memandangi Ayahnya kecewa. Bukan, kecewa itu bukan ditujukan pada ayahnya. Kecewa itu lebih ditujukan pada takdir yang begitu kejam padanya. Ibunya masih sakit dan sekarang masalah lain sudah datang menghampiri. Jujur saja, Kania lelah. Mata merah Kania menangkap gelengan pelan Ayahnya. Telinganya juga mendengar Ayahnya bergumam, “Belum, dan jangan sampai Ibu tahu.” Kania mengangguk setuju. Ayahnya benar, Ibunya belum boleh tahu soal hal ini. Ibunya masih suka sesak pada saat-saat tertentu karena sakit jantung. Jangan sampai Ibunya semakin drop karena kabar ini. “Jadi, Ayah udah ada rencana?” tanya Kania pelan, berusaha tidak mengganggu tidur Ibunya. Seju